Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!
Tak penting jumlahnya,
tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama
Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara
yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana
alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar
janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas
saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang.
Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana.
Bangsa ini harus tegas:
berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan.
Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal
sekelompok warga negara menyerang warga negara lainnya. Kelompok demi
kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa.
Mereka merobek tenun kebangsaan!
Tenun kebangsaan itu
dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar.
Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap
negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas
loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan,
parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan
pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan
ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini.
Mereka bukan cuma
kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan. Tenun kebangsaan itu dirajut
dengan amat berat dan penuh keberanian. Para pendiri republik sadar
bahwa bangsa di Nusantara ini amat bineka. Kebinekaan bukan barang baru.
Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebinekaan di Nusantara
adalah fakta, bukan masalah! Tenun kebangsaan ini dirajut dari
kebinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat
unik. Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat
menghasilkan kekuatan. Perajutan tenun ini pun belum selesai. Ada proses
terus-menerus. Ada dialog dan tawar-menawar antar-unsur yang berjalan
amat dinamis di tiap era. Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah
pada masa berikutnya.
Warga Negara, Penganut Agama
Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber masalah adalah kegagalan membedakan ”warga negara” dan ”penganut sebuah agama”. Perbedaan aliran atau keyakinan tak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah ratusan, bahkan ribuan tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih berlangsung terus dan belum ada tanda akan selesai minggu depan. Jadi, di satu sisi, negara tak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tetapi semua warga negara republik sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi aturan dan hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan.
Negara memang tak bisa
mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Namun, negara
sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi, dialog
antar-pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apa pun boleh, begitu
berubah jadi kekerasan, maka pelakunya berhadapan dengan negara dan
hukumnya. Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antarpenganut
aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antarwarga senegara. Dalam
menegakkan hukum, negara harus melihat semua pihak semata sebagai warga
negara dan hanya berpihak pada aturan. Aparat keamanan harus hadir
melindungi ”warga-negara” bukan melindungi ”pengikut” keyakinan/ajaran
tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, aparat hadir untuk menangkap
”warga-negara” pelaku kekerasan, bukan menangkap ”pengikut” keyakinan
yang melakukan kekerasan.
Menjaga tenun kebangsaan
dengan membangun semangat saling menghormati serta toleransi itu baik
dan perlu. Di sini pendidikan berperan penting. Namun, itu semua tak
cukup dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun kebangsaan itu juga dengan
menjerakan setiap perobeknya. Bangsa dan negara ini boleh pilih:
menyerah atau ”bertarung” menghadapi para perobek itu. Jangan bangsa ini
dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis
sejarah bahwa bangsa ini gagah memesona saat mendirikan negara bineka
tetapi lunglai saat mempertahankan negara bineka.
Membiarkan kekerasan
adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh,
wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan,
pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas.
Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan efeknya
amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek hampir pasti tak bisa
memulihkannya. Tenun yang robek selalu ada bekas, selalu ada cacat. Ada
seribu satu pelanggaran hukum di Republik ini, tetapi gejala merebaknya
kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi prioritas utama
untuk dibereskan. Untuk menyejahterakan bangsa semua orang boleh
”turun-tangan”, tetapi menegakkan hukum hanya aparat yang boleh
”turun-tangan”.
Penegak hukum dibekali
senjata tujuannya bukan untuk tampil gagah saat upacara, melainkan untuk
melindungi warga negara saat menegakkan hukum. Negara harus berani dan
menang ”bertarung” melawan para perobek. Saat tenun kebangsaan terancam
itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada kebebasan
berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tetapi tak ada
kebebasan melakukan kekerasan. Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya
komplet. Jadi, begitu ada warga negara yang pilih melanggar dan
meremehkan aturan hukum untuk merobek tenun kebangsaan, sikap negara
hanya satu: ganjar mereka dengan hukuman yang amat menjerakan. Bukan
cuma tokoh-tokohnya yang dihukum.
Setiap gelintir orang
yang terlibat dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu
sebagai pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun
kebangsaan! Ketegasan dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat
setiap orang sadar, memilih kekerasan sama dengan memilih diganjar
dengan hukuman menjerakan. Ada kepastian konsekuensi. Ingat, Republik
ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan negara yang bineka.
Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan
merawat kebinekaan itu secara tanpa syarat.
Biarkan kita semua — dan kelak anak cucu kita — bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.
Artikel Asli : http://aniesbaswedan.com
No comments:
Post a Comment