TRIBUN-MEDAN.COM, SAMOSIR - Sebagian masyarakat di
sekitar Danau Toba meyakini tragedi tenggelamnya KM Sinar Bangun ada
kaitannya dengan hal mistis yang 'mendiami' Danau Toba.
Tokoh Adat Samosir, Krimson Malau (kanan) dan Ompung Martupa Malau (kiri) (Tribun MEDAN/DOHU LASE)
Selain fenomena ikan mas raksasa, disebut-sebut ritual 'Manguras Tao' juga ada hubungannya.
Manguras Tao yaitu ritual memberikan persembahan kepada penguasa Danau Toba, yakni Saneang Nagalaut, dan pemilik kekuatan lain yang mendiami Danau Toba seperti Partambak Simonang-monang, Partao Nabolak, dan Partao Sitio-tio.
Ritual ini dilakukan untuk mencegah atau mengatasi amukan para penghuni danau yang marah karena perilaku manusia 'mengotori' danau.
"Mengotori bukan hanya dalam arti membuang sampah ya. Berperilaku tidak sopan atau berbuat hal-hal tak senonoh di atas Danau Toba juga termasuk mengotori," kata seorang Tokoh Adat Samosir, Krimson Malau ditemui di Pelabuhan Simanindo usai melakukan Ritual Pangelekan di Danau Toba, Jumat (22/6/2018) sekitar pukul 17.00 WIB.
Tenggelamnya KM Sinar Bangun diduganya merupakan imbas kemarahan 'penguasa' Danau Toba kepada manusia.
"Dahulu, kalau warga mendapat sesuatu yang aneh dari Danau Toba, harus dipertanyakan dahulu kepada tetua adat, agar tidak mengundang amarah penghuni danau," ujar Krimson.
Dijelaskannya, ritual Manguras Tao dilakukan oleh 10 tetua adat dari lima kampung di Situngkir Parbaba, Samosir, yang diyakini berusia paling tua dibanding kampung-kampung lain.
10 tetua adat itu akan menyerahkan persembahan berupa seekor kambing putih, diiringi musik Gondang Pangelek.
Manguras Tao yaitu ritual memberikan persembahan kepada penguasa Danau Toba, yakni Saneang Nagalaut, dan pemilik kekuatan lain yang mendiami Danau Toba seperti Partambak Simonang-monang, Partao Nabolak, dan Partao Sitio-tio.
Ritual ini dilakukan untuk mencegah atau mengatasi amukan para penghuni danau yang marah karena perilaku manusia 'mengotori' danau.
"Mengotori bukan hanya dalam arti membuang sampah ya. Berperilaku tidak sopan atau berbuat hal-hal tak senonoh di atas Danau Toba juga termasuk mengotori," kata seorang Tokoh Adat Samosir, Krimson Malau ditemui di Pelabuhan Simanindo usai melakukan Ritual Pangelekan di Danau Toba, Jumat (22/6/2018) sekitar pukul 17.00 WIB.
Tenggelamnya KM Sinar Bangun diduganya merupakan imbas kemarahan 'penguasa' Danau Toba kepada manusia.
"Dahulu, kalau warga mendapat sesuatu yang aneh dari Danau Toba, harus dipertanyakan dahulu kepada tetua adat, agar tidak mengundang amarah penghuni danau," ujar Krimson.
Dijelaskannya, ritual Manguras Tao dilakukan oleh 10 tetua adat dari lima kampung di Situngkir Parbaba, Samosir, yang diyakini berusia paling tua dibanding kampung-kampung lain.
10 tetua adat itu akan menyerahkan persembahan berupa seekor kambing putih, diiringi musik Gondang Pangelek.
"Mulai
dari penyembelihan kambing, hingga memasak kambing, semua dilakukan di
danau. Setelah dipersembahkan, daging kambing akan dimakan seluruh
masyarakat dari kelima kampung itu yang turut hadir pada ritual," terang
Krimson.
Seorang warga Samosir lain, Junianti Sinaga, juga mengatakan demikian.Ia menyesalkan tentang ritual Manguras Tao yang kini sudah bergeser menjadi event wisata dan hilang kesakralannya.
"Sudah seperti sirkus acara Manguras Tao dibuat. Dianggap sepele. Padahal itu upacara sakral dan penting," pungkas Junianti.
Diberitakan, berbagai upaya telah dilakukan dalam pencarian korban atas tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba, Senin (18/6/2018) lalu.
Sejak tenggelamnya kapal tersebut, hingga hari ke-5, total korban yang ditemukan baru 22 orang, yakni di antaranya 3 korban meninggal dunia dan 19 orang korban selamat.
Sedangkan dugaan 184 korban lagi dinyatakan hilang masih dalam pencarian.
Hingga saat ini, pencarian korban di hari ke lima belum membuahkan hasil.
Penduduk Pulau Samosir, khususnya Keturunan Silau Raja pun turut menggelar doa (ritual) Pangelekan (permohonan) di Perairan Danau Toba dan juga di Tao (Pulau) Malau, Samosir Jumat (22/6/2018).
Menurut silsilah batak Silau Raja adalah anak lelaki bungsu Guru Tatea Bulan dan Si Boru Baso Burning. Empat abang Silau Raja adalah Raja Uji, Saribu Raja, Limbong Mulana dan Sagala Raja.
"Sudah seperti sirkus acara Manguras Tao dibuat. Dianggap sepele. Padahal itu upacara sakral dan penting," pungkas Junianti.
Diberitakan, berbagai upaya telah dilakukan dalam pencarian korban atas tenggelamnya KM Sinar Bangun di perairan Danau Toba, Senin (18/6/2018) lalu.
Sejak tenggelamnya kapal tersebut, hingga hari ke-5, total korban yang ditemukan baru 22 orang, yakni di antaranya 3 korban meninggal dunia dan 19 orang korban selamat.
Hingga saat ini, pencarian korban di hari ke lima belum membuahkan hasil.
Penduduk Pulau Samosir, khususnya Keturunan Silau Raja pun turut menggelar doa (ritual) Pangelekan (permohonan) di Perairan Danau Toba dan juga di Tao (Pulau) Malau, Samosir Jumat (22/6/2018).
Menurut silsilah batak Silau Raja adalah anak lelaki bungsu Guru Tatea Bulan dan Si Boru Baso Burning. Empat abang Silau Raja adalah Raja Uji, Saribu Raja, Limbong Mulana dan Sagala Raja.
Silau Raja memiliki empat anak laki-laki yakni, Malau, Manik, Ambarita dan Gurning.
Guru Tatea Bulan memiliki empat putri, salah seorang adalah Nantinjo yang dikisahkan memilih bunuh diri dengan menceburkan diri ke Danau Toba karena menolak dijodohkan pada lelaki yang tidak dia sukai. Keturunan Tatea Bulan, termasuk dari Silau Raja menyapa Nantinjo sebagai namboru atau bibi.
"Kami marga Malau punya hubungan emosional kepada Namboru kami Nantinjo yang memiliki kekuatan di Danau Toba ini. Dengan kejadian ini, kami prihatin dan tentu berupaya dalam doa. Mudah-mudahan melalui acara doa (ritual) ini, Tuhan yang maha kuasa dan juga Namboru kami memberi kemudahan dalam pencarian korban, serta membantu orang-orang yang melakukan pencarian,"ujar Krimson Malau (Oppu Yandra).
Ritual doa di Danau Toba. Foto: Tribun-Medan.com/Arjuna Bakkara.
Kata Krimson, berdasarkan kejadian-kejadian yang dialami marga Malau di Danau Toba, apabila mereka naik kapal jika berdoa kepada namboru Nantinjo dengan media sirih, maka cuaca bisa tenang.
Disebutnya, saat ini keluarga korban banyak yang panik, sehingga mereka melakukan ritual itu. Ritual ini spontanitas mereka lakukan, sebagai kepedulian untuk turut memudahkan pencarian korban.
Ritual itu dipimpin Oppu Martupa Malau dari Huta Salaon, Samosir.
Ritual doa di Danau Toba. Foto: Tribun-Medan.com/Arjuna Bakkara.
Sumber Berita : http://medan.tribunnews.com/
Guru Tatea Bulan memiliki empat putri, salah seorang adalah Nantinjo yang dikisahkan memilih bunuh diri dengan menceburkan diri ke Danau Toba karena menolak dijodohkan pada lelaki yang tidak dia sukai. Keturunan Tatea Bulan, termasuk dari Silau Raja menyapa Nantinjo sebagai namboru atau bibi.
"Kami marga Malau punya hubungan emosional kepada Namboru kami Nantinjo yang memiliki kekuatan di Danau Toba ini. Dengan kejadian ini, kami prihatin dan tentu berupaya dalam doa. Mudah-mudahan melalui acara doa (ritual) ini, Tuhan yang maha kuasa dan juga Namboru kami memberi kemudahan dalam pencarian korban, serta membantu orang-orang yang melakukan pencarian,"ujar Krimson Malau (Oppu Yandra).
Ritual doa di Danau Toba. Foto: Tribun-Medan.com/Arjuna Bakkara.
Kata Krimson, berdasarkan kejadian-kejadian yang dialami marga Malau di Danau Toba, apabila mereka naik kapal jika berdoa kepada namboru Nantinjo dengan media sirih, maka cuaca bisa tenang.
Disebutnya, saat ini keluarga korban banyak yang panik, sehingga mereka melakukan ritual itu. Ritual ini spontanitas mereka lakukan, sebagai kepedulian untuk turut memudahkan pencarian korban.
Ritual itu dipimpin Oppu Martupa Malau dari Huta Salaon, Samosir.
Ritual doa di Danau Toba. Foto: Tribun-Medan.com/Arjuna Bakkara.
Sumber Berita : http://medan.tribunnews.com/
No comments:
Post a Comment