“Heboh,
 ya, hasil survei kita?” begitu kalimat pertama yang muncul dari mulut 
Direktur Indonesia Network Election Survey (INES) Oskar Vitriano saat 
bertemu dengan detikX di Cafe Hema, Menteng Huis, Jakarta, 8 Mei lalu.
Oskar
 meminta sesi wawancara dilakukan di luar kantor, karena markas mereka 
sebelumnya, yang beralamat di gedung Arva, Jalan Cikini Raya No 60, 
Jakarta Pusat, sudah habis masa kontraknya dan saat ini masih proses 
pencarian kantor baru.
Di awal perbincangan, Oskar mengaku tidak 
menyangka hasil surveinya membuat geger. “Selain tentang pilpres, kami 
kan banyak melakukan survei di daerah-daerah juga. Tapi baru kemarin 
yang heboh,” ucap Oskar.
Survei INES yang dirilis pada Minggu, 6 
Mei lalu, di Mess Aceh Amazing Hotel, Jakarta, memang mengejutkan. 
Betapa tidak. Sejumlah lembaga survei menempatkan elektabilitas Presiden
 Joko Widodo di posisi teratas sebagai calon presiden 2019 di atas nama 
capres yang mengemuka, termasuk Prabowo Subianto, kompetitor utama 
Jokowi.
Namun, dalam survei INES, justru elektabilitas Prabowo 
jauh melampaui Jokowi, capres yang didukung sejumlah parpol, seperti PDI
 Perjuangan, Golkar, NasDem, PPP, dan Hanura.
Top of mind dengan
 pertanyaan 'jika pemilu dilakukan hari ini, siapa presiden yang akan 
dipilih?' menempatkan Prabowo unggul dengan angka 50,20 persen, Jokowi 
27,70 persen, Gatot Nurmantyo 7,40 persen, dan tokoh lain 14,70 persen.

Prabowo Subianto saat menerima dukungan sebagai capres 2019 dari KSPI di Jakarta, 2 Mei 2018. 
Foto: dok. detikcom
                             
Foto: dok. detikcom
Saat
 memakai pertanyaan tertutup pun, data INES menunjukkan Prabowo tetap 
unggul dengan perolehan suara di atas 54,50 persen. Sementara itu, 
Jokowi mendapatkan 26,10 persen, Gatot Nurmantyo 9,10 persen, dan tokoh 
lain 10,30 persen.
Bukan hanya Prabowo yang hasilnya 
moncer di survei INES. Partai Gerindra, yang dibesut mantan Danjen 
Kopassus tersebut juga meroket. Partai berlambang kepala garuda tersebut
 memuncaki hasil survei dengan angka 26,2 persen disusul PDI Perjuangan 
(14,3 persen), Golkar (8,2 persen), PKS (7,1 persen), Perindo (5,8 
persen), PKB (5,7 persen), PAN (5,8 persen) , Demokrat (4,6 persen), PPP
 (3,1 persen), NasDem (3,1 persen), Hanura (2,3 persen), PBB (2,1 
persen), PKPI (0,9 persen), Berkarya (0,7 persen), Garuda (0,4 persen), 
dan PSI (0,1 persen).
Kepada detikX, Oskar menjelaskan, 
survei tersebut dilakukan pada 12-28 April 2018. Survei dilakukan kepada
 2.180 responden yang dipilih secara proporsional di 408 kabupaten atau 
kota di Indonesia. Metode yang digunakan adalah multistage random sampling. Margin of error dari survei ini kurang-lebih 2,1 persen, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Populasi
 survei ini adalah warga negara Indonesia yang bekerja di sektor 
domestik atau publik dengan aneka profesi dengan ragam pendidikan dan 
ragam umur serta penghasilan dan latar belakang agama berbeda. INES 
melakukan pengumpulan data dengan wawancara secara sistematis dengan 
melakukan cek ulang di lapangan sebanyak 20 persen dari seluruh 
responden.
Karena dianggap tidak biasa, Oskar dan lembaga 
surveinya kemudian menjadi sorotan. Apalagi pria yang masih tercatat 
sebagai dosen tidak tetap di Universitas Indonesia itu masih tergolong 
baru di dunia survei politik. “Memang saya baru bergabung di INES sejak 2
 tahun lalu. Sebelumnya saya sebagai peneliti. Karena tidak ada 
direkturnya, saya pun diangkat. Kalau pendirinya (INES) Pak Tri Widodo,”
 terang Oskar.
INES, menurut Oskar, berdiri pada 2012. Survei 
perdana lembaga ini adalah pada Pilkada DKI Jakarta 2012 putaran kedua, 
yang melibatkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli dan Jokowi- Basuki Tjahaja 
Purnama (Ahok). Dari survei yang dirilis pada 19 September 2012, 
pasangan Jokowi-Ahok diyakini mampu memenangi pertarungan dengan 
persentase 72,48 persen. Sedangkan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli hanya 
meraup 27,52 persen.

Direktur Indonesia Network Election Survey Oskar Vitriano 
Foto: Gresnia Arela F/detikX
Foto: Gresnia Arela F/detikX
“Jadi
 kita sudah lama sebenarnya melakukan survei. Nah, yang paling nyata di 
2017, kita survei Anies-Sandi dan angkanya kita paling dekat dengan real count KPU. Waktu itu angka kita 57,2 persen Anies-Sandi dan 40,2 persen untuk Ahok-Djarot,” tutur Oskar.
Namun,
 di mata Hamdi Muluk, anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik
 Indonesia (Persepsi), survei yang dilakukan INES patut dicurigai. 
Pasalnya, dari sejumlah survei yang dilakukan INES, baik di Pilkada DKI 
Jakarta pada 2012 maupun pada 2017, antara sampel dan margin of error selalu berbeda.
Hamdi
 mencontohkan, pada survei Pilgub DKI putaran kedua, INES merilis suara 
Jokowi- Ahok 72,48 persen dan Foke-Nachrowi 27,52 persen dengan margin of error
 2,5 persen. Sedangkan hasil KPU menunjukkan, putaran kedua Pilkada DKI 
2012 memenangkan Jokowi-Ahok dengan 53,82 persen dan Foke-Nachrowi 46,18
 persen.
Pada Pilpres 2014, INES sebelum hari-H pencoblosan 
merilis pasangan Prabowo-Hatta Rajasa meraih 54,3 persen, 
Jokowi-Jusuf-Kalla mengumpulkan 37,6 persen, dan yang belum menentukan 
pilihan sebanyak 8,1 persen dengan margin of error 1,7 persen. 
Sementara itu, hasil resmi KPU justru sebaliknya. Jokowi-JK justru 
unggul dengan raihan 53,15 persen dan Prabowo-Hatta hanya meraih 46,85 
persen suara.
Begitupun dengan survei pada Pilkada DKI 2017 
putaran pertama. Saat itu INES merilis Anies-Sandi diprediksi meraih 
42,86 persen, Ahok-Djarot meraih 28,8 persen, dan AHY-Silvy mendapat 
18,4 persen, dengan margin of error 2,3 persen. Tapi hasil KPU 
menunjukkan, Anies-Sandi meraih 39,95 persen, Ahok-Djarot 42,99 persen, 
dan AHY-Silvy hanya meraih 17,02 persen.
“Yang jadi perhatian saya, sampel dan margin of error di
 survei INES selalu berbeda. Masak untuk sampel 2.000-7.000 responden 
lebih kecil dari sampel 10 ribu responden. Ini rekayasa banget, 
ha-ha-ha...,” ujar Hamdi Muluk.

Jokowi mengunjungi latihan atlet berkuda di Depok, Jawa Barat, 6 Mei 2018. 
Foto: dok. Biro Pers Setpres/detikcom
Foto: dok. Biro Pers Setpres/detikcom
Dan
 khusus untuk survei teranyar INES yang menyatakan Prabowo unggul atas 
Jokowi, Hamdi Muluk tidak mau memberikan penilaian. Sebab, harus dilihat
 secara detail metode dan sampling-nya. Namun, untuk mengaudit 
mekanisme surveinya, Persepsi tidak punya kompetensi karena INES tidak 
masuk dalam asosiasi tersebut.
Hamdi kemudian mengatakan sempat 
menanyakan kepada INES terkait hasil survei Pilkada DKI Jakarta 2012 dan
 2017 serta Pilpres 2014. Namun pengurus saat ini menyebutkan itu hasil 
survei pengurus lama. “Ini lembaga survei (INES) setiap 6 bulan ganti 
pengurus. Terus mulai lagi dari awal. Ini bukan lembaga yang kredibel 
menurut saya. Sebab, sebuah lembaga harus sustainable dan jelas siapa yang mengelola,” tuturnya.
Hamdi
 juga menyebut INES sedari awal memang tidak mau bergabung dengan salah 
satu asosiasi. “Waktu itu saya tanya, ‘Anda gabung ke mana? 'Nggak, kami
 sendiri saja.' Begitu jawabnya. Ya sudah, tidak ada yang mengawasi,” 
ujar Hamdi.
Pengawasan biasanya dilakukan Persepsi kepada 
anggotanya jika dianggap hasil survei terasa janggal dengan membedah 
apakah prosedur baku sudah diterapkan. Misalnya, benar atau tidak mereka
 mendatangi sampling unit yang di atas kertas dibilang dengan random sampling dengan mengambil primer unit bertingkat dari provinsi, kecamatan sampai unit rumah tangga.
Setelah itu akan dilakukan pengecekan secara acak setidaknya 10 persen dari total sampling.
 “Tapi, kalau dalam kurun waktu bersamaan ada 6-7 lembaga survei terjun 
ke lapangan dan ada salah satu yang hasilnya beda sendiri dengan yang 
lain, itu ngawur. Simpel saja sebenarnya,” terang Hamdi.
Soal ada 
pesanan di balik survei, Hamdi memakluminya. Sebab, survei pesanan bukan
 hal yang tabu. Yang tidak dibolehkan adalah memanipulasi data atau 
membuat metodologi sesuka hati tanpa bisa dipertanggungjawabkan secara 
ilmiah. Meski begitu, sampai saat ini sulit untuk menjerat lembaga 
survei yang tidak kredibel lantaran belum ada undang-undang yang 
mengatur.

Petugas Kelompok Penyelenggara 
Pemungutan Suara menghitung surat suara dalam Pilgub DKI Jakarta 2012 di
 Manggarai Selatan, Jakarta, 11 Juli 2012. 
Foto: Jhoni Hutapea/detikcom
Foto: Jhoni Hutapea/detikcom
Sedangkan KPU hanya membuat peraturan, selama masa pemilu, lembaga-lembaga yang hendak melakukan quick count harus mendaftar ke KPU. Jika tidak mendaftar, tidak boleh melakukan quick count.
 Hanya itu. Lain halnya jika lembaga survei masuk dalam asosiasi. Jika 
terbukti dari hasil audit terjadi manipulasi data, akan dijerat dengan 
pelanggaran etik.
Hal ini pernah menimpa Pusat Kajian Kebijakan 
dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dan Jaringan Suara Indonesia. Dua 
lembaga survei yang masuk dalam asosiasi Persepsi itu ‘diadili’ karena 
hasil quick count-nya berbeda dengan sejumlah lembaga survei lainnya.
Sebut
 saja Puskaptis, yang dalam hitung cepat Pilpres 2014 memenangkan 
Prabowo-Hatta dengan 52,03 persen suara dan Jokowi-Jusuf Kalla meraih 
47,97 persen suara. Sedangkan hasil rekapitulasi resmi KPU menetapkan 
pasangan Jokowi-JK yang jadi pemenang dengan raihan  53,15 persen suara.
 Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa memperoleh 46,85 
persen.
Namun, saat diminta menghadiri audit hasil survei yang 
dilakukan dewan etik Persepsi, kedua lembaga tersebut enggan hadir. 
Alhasil, kedua lembaga itu dikeluarkan dari keanggotaan Persepsi karena 
dianggap melanggar Kode Etik Persepsi Bab V Pasal 29-32.
Redaktur: Deden Gunawan
Editor: Irwan Nugroho
Desainer: Fuad Hasim
Artikel Asli : https://detik.com



No comments:
Post a Comment