"Kita cerai!" Terdengar teriakan di telepon. Lalu suara sambungan terputus.
Aku mengusap rambut dengan kasar. Mencoba meredakan emosi sendiri, setelah sedikit lega, lalu melangkah ke kasir toko.
"Tolong cepat ya, Mbak!" Aku meminta.
Wanita muda itu segera menghitung total belanjaan, lalu menyebutkan
berapa yang harus kubayar. Cepat aku mengemasi semuanya dan berjalan
keluar toko.
Motor melaju dengan kecepatan lumayan tinggi,
membayangkan di rumah Dilla menyambutku dengan koper di tangan seperti
kebiasaannya tiap kali kami bertengkar. Sampai.
Aku memarkir
motor di teras, menyambar dua plastik hitam dan segera masuk rumah.
Terlihat Rangga dan Ringga sedang asyik bermain PS. Mereka menyambutku
dan akan menyambut seperti biasa. Tapi kali ini aku hanya memberikan dua
plastik itu pada mereka tanpa kata.
"Mama mana?" tanyaku buru-buru.
"Di kamar!" Rangga menunjuk.
Aku segera berlalu, sementara mereka sibuk mengamati mainan yang baru
saja kubelikan. Pintu kamar tertutup rapat dari dalam. Aku tahu Dilla
tengah menangis sambil mengemasi pakaiannya.
"Ma!" Aku memanggil. Tak terdengar sahutan.
Tanpa menunggu lagi aku membuka pintu. Benar, kudapati dia setengah
melempar satu demi satu pakaian yang diambil dari dalam lemari ke koper.
"Ma! Kita bicara dulu ..." Aku masih berusaha menahan suara agar tak terdengar oleh anak-anak di luar sana.
"Ma!" Aku menyentakkan tangannya yang masih tak berhenti. Dia menoleh, menatapku tajam dengan mata sembab yang memerah.
"Apa? Mau ngomong apa? Mau ngeles?!" Sewotnya.
"Ma, denger dulu. Kamu cuma salah paham." Aku berusaha menjelaskan.
"Salah paham apa? Kamu pikir aku bodoh? Jelas-jelas cewek itu chat
seakrab itu sama kamu masih coba bilang salah paham!" Dia melepaskan
tanganku.
"Ma ... dia cuma teman Papa di kantor, itu aja. Nggak lebih!"
"Nggak lebih tapi sering chat di WA. Pake nelpon-nelpon lagi! Ini malam
minggu,
Papa pulang terlambat karena nganterin dia pulang kaya minggu
kemaren kan? Udahlah, nggak usah kebanyakan alasan. Pokoknya aku mau
kita cerai. Titik!"
Seperti ada yang berdenyut nyeri di dalam
hati tiap kali mendengar kata itu.
Meili memang teman sekantor. Usianya
masih muda. Kami lumayan sering chat di WA karena masalah kerjaan. Sabtu
yang lalu tanpa sengaja aku mengantarnya pulang karena kasihan. Cuma
sebatas itu. Tidak lebih.
Sayangnya, Dilla berpikir yang bukan-bukan
setelah membuka WA ku. Aku menangkap tangannya, agar ia berhenti
mengemasi baju-baju. "Ma, aku terlambat karena beli maenan untuk
anak-anak."
Dia menatapku sengit, "Alasan!"
"Ya Allah, Ma ... harus bilang gimana lagi buat jelasinnya?"
"Nggak usah jelasin apa-apa! Aku mau cerai!" Bentaknya.
Dia menyentakkan tanganku, lalu akan menyeret koper keluar kamar. Tapi aku menarik tubuh Dilla, dan merengkuhnya. Erat.
Karena ada luka yang kembali menganga di dalam dada. Luka yang selama
puluhan tahun berusaha kusembuhkan dalam sebuah pernikahan.
"Jangan bercerai, Ma ... jangan," bisikku.
Dia masih sedikit berontak, tapi karena aku tak melepaskan akhirnya dia terisak di dalam dada.
Jam berdetak ke angka sepuluh malam. Anak-anak sudah tidur dengan
nyaman di atas ranjang. Sementara di kamar, kami masih diliputi
keheningan. Dilla masih terisak sesekali, meski sekarang dia sudah
percaya dengan apa yang kuceritakan padanya.
Aku menarik kepala
Dilla, agar ia tidur di atas bahuku. Semula dia akan menolak, tapi aku
sedikit memaksa. Karena malam ini aku akan bercerita padanya. Cerita
tentang seorang anak korban perceraian, sepertiku.
"Aku nggak
pernah berniat selingkuh, Ma. Karena aku tau bagaimana rasanya
ditinggalkan." Aku memulai pembicaraan. "Bercerai itu ... neraka bagi
anak-anak." Dia terdiam.
"Akan ada banyak sayatan di masa kecil anak-anak yang masih polos, setelah orang tua bercerai."
Kudengar dia menarik napas dalam.
"Sayatan pertama, saat salah satu dari orangtua bertanya ... kamu mau
ikut mama atau papa?" Aku berkata getir, "tapi ada sayatan lebih dalam
dari pertanyaan itu, saat kita tidak diberi pilihan. Seperti aku."
Aku masih mengingat dengan jelas hari itu. Saat dalam isak tangis ibu
menggandeng tanganku keluar dari rumah. Alin, adikku, memeluk dalam
gendongannya. Tadinya kupikir kami akan pergi bersama, ternyata aku
ditinggalkan di depan jalan.
Ibu naik mobil sambil melambaikan
tangan, sementara aku yang belum memahami bahwa ibu tak akan kembali,
hanya terdiam. Lalu kembali masuk rumah, menunggunya pulang.
Usiaku baru enam tahun saat itu. Kupikir ibu hanya pergi ke pasar untuk
membeli baju seragam. Tapi sampai besok, besoknya, dan besoknya lagi,
ibu tak pulang lagi.
"Pa ...?" Dilla menatap wajahku.
"Ya ..." Aku menepuk-nepuk bahunya, pelan.
"Kenapa mereka bercerai?"
"Karena ayahku menikah lagi ..."
Baru kali ini, setelah delapan tahun kami menikah, aku menceritakan
semuanya. Selama ini dia hanya tahu aku memang hidup dengan ibu tiri
yang semua terlihat baik-baik saja. Tapi sebaik apapun keadaan rumah,
akan jauh lebih baik saat kita berada satu atap dengan orangtua yang
utuh.
"Sayatan kedua, adalah saat seorang anak harus berpindah dari rumah yang semula nyaman, ke rumah yang terasa asing ..."
Setelah bebeberapa bulan diurus nenek dari pihak ibu, akhirnya aku harus merasa ditinggalkan lagi. Nenek meninggal.
Lebih menyakitkan saat di malam hari setelah kematian nenek, aku
mendengar mereka membicarakan harus dengan siapa aku tinggal. Lucunya,
beberapa kali aku harus mendengar penolakan.
Terlalu repot, tak
ada kamar lebih, tak ada uang untuk makan, dan bermacam alasan lainnya.
Saat itu, aku menangis ingin bertemu ibu. Tapi juga merasa bahwa semua
orang tidak menginginkanku, termasuk ibu.
Akhirnya aku diserahkan
pada ayah. Kemudian dia membawaku tinggal dengannya. Bersama dengan
anak-anaknya yang lain, di rumah istri pertama.
Siang itu aku
turun dari motor ayah dengan perasaan asing. Di depan sebuah rumah
sederhana yang sama sekali aku belum pernah datangi. Yang kini akan jadi
tempat di mana aku tinggal.
"Mau pulang ... mau sama ibu ..." Saat itu, hanya kata itu yang kuucapkan pelan.
Ayah sedikit membungkuk untuk memberi pengertian. Sebagai seorang ayah,
dia memang baik terhadap anak-anaknya. Hanya saja aku jarang bertemu
karena dia selalu pergi dan datang ke rumah sesekali. Mungkin karena
ibuku memang hanya istri kedua.
Beberapa wajah melongok di pintu.
Ada yang besar, beberapa hanya sedikit di atasku. Kulihat mereka ada
empat orang bergaris wajah hampir serupa.
"Semua kakak nggak ada yang nakal, kan?" Dilla bertanya pelan, membayangkan apa yang kurasakan saat itu.
"Enggak, Ma. Mereka kaya kebanyakan anak lainnya." Aku tersenyum,
"anak-anak polos ... yang hanya menganggap ada teman baru yang datang."
Tadinya aku mendengar sedikit keributan di kamar. Mungkin ibu tiriku
sedikit keberatan. Tapi akhirnya saat mereka keluar, tas tempat
baju-bajuku dibawa masuk ke dalam kamar. Aku diterima.
Ya, aku
duduk di sofa. Asing. Sendirian. Disuruh makan, aku makan. Disuruh
mandi, aku mandi. Disuruh tidur, ini yang agak susah.
Aku biasa
tidur dengan ibu, atau nenek. Di sini aku tidur bersama dengan dua kakak
baru. Mereka terus mengobrol seru di atas ranjang. Cekikan membicarakan
entah apa. Sementara aku di ujung ranjang. Sesekali hampir terjatuh,
tapi berusaha menahan.
"Tapi ... nggak dianak-tirikan kan?" Dilla menatapku.
"Alhamdulillah, enggak ..." Aku menggeleng.
Ibu tiriku tidak terlalu ramah, tapi juga tidak jahat. Dia bersikap
manusiawi. Bersikap sama pada empat anak kandung dan satu anak tiri dari
madunya, aku.
"Sayatan ketiga, saat kita merasa tidak punya
tempat mengadu, seperti anak-anak yang lainnya ..." Aku merasakan
sedikit denyut di dada.
Mengulang dalam ingatan situasinya.
Situasi di mana aku, anak yang seharusnya menjadi bungsu, tapi dianggap
lebih dewasa dari kakak-kakak lainnya.
Kulihat sesekali
kakak-kakakku mengadu jika ada anak lain yang nakal, lalu ibuku
menanggapi. Mereka mengadu saat bertengkar dengan teman, bercerita
tentang apa yang terjadi di sekolah hari ini, atau tentang uang jajan
yang kurang. Sementara aku tak berani.
"Kenapa nggak berani?" Dilla menatapku, ada kilat kasihan di manik matanya.
"Sebaik-baiknya ibu tiri ... seorang anak lebih nyaman bicara dengan
ibu kandungnya sendiri ..." Suaraku mulai terdengar pelan.
Kembali kurasakan sayatan itu. Aku tinggal di tempat yang ramai, tapi
merasa kesepian sepanjang waktu. Aku bicara, aku tertawa, tapi tidak
bisa selepas seperti dengan ibuku. Aku tetap merasa asing.
Pernah
mencoba lebih dekat, bahkan sesekali tidur sambil memeluk kaki wanita
itu. Tapi tetap terasa berbeda. Tetap tertanam di ingatan bahwa dia
adalah ibu dari orang lain, bukan ibuku.
"Dulu, setiap kali aku
menginginkan mainan, aku harus menunggu agar yang lain membeli mainan
yang sama lebih dulu. Jadi aku punya alasan untuk meminta. Tapi
seringkali ... aku hanya diberi mainan bekas dari kakak. Saat semua
sudah mulai memainkan mainan model yang baru, aku baru punya kesempatan
memegang mainan yang lama ..." Aku menarik napas. Terbayang lagi
masa-masa sakit itu.
Mata Dilla membesar, menyadari sesuatu. "Karena itu Papa sering banget beliin anak-anak mainan?"
Aku mengangguk. Jika ada yang mengatakan bahwa anak adalah balas dendam
dari masa-masa kecil orangtua ingin rasakan, itu benar. Kini aku
memahami itu.
"Sayatan ke empat, saat saudara-saudara merasa
kesal dengan kesalahan yang dilakukan oleh orangtua, mereka mengatakan
hal-hal buruk kepada si anak. Sebagai pelampiasan."
Dilla menatapku, semakin berkaca matanya.
"Heran sama si Ida, ibumu itu! pergi belasan tahun nggak pulang-pulang.
Apa nggak inget sama anak dia?" Oceh salah satu bibi dari ayah.
"Ah dasar juga ayahnya tukang kawin!" Tetangga yang lain menanggapi. Sambil menuding wajahku.
Sebenarnya itu kata-kata yang mereka anggap sebagai angin lalu. Pengisi
kekosongan dari percakapan keseharian. Tapi mereka lupa, bahwa seorang
anak pun pasti punya hati. Mereka tidak sadar berkata yang sekilas hanya
terdengar tak berarti tapi menancap layaknya duri.
Di depan
mereka, seorang anak dari orangtua yang bercerai mungkin dianggap tak
punya harga diri. Jadi mereka bisa bicara sesuka hati.
"Sayatan ke lima, saat anak melihat anak-anak lain begitu dilindungi dan penuh harga diri, tapi dia tak punya ..."
"Pa ..."
Aku terpejam. Merasakan mata yang mulai memanas.
Di lingkungan rumah, di sekolah, bahkan di antara teman sebaya, aku
sering direndahkan. Diremehkan. Tak diperhitungkan. Karena mereka semua
punya ibu sebagai tempat mengadu, dan ayah sebagai orang yang bisa
diandalkan, tapi aku tidak.
"Aku ... selalu bertanya pada diri sendiri, apa salahku ... apa salahku ... apa salahku ...kenapa aku ditinggalkan ..."
Setetes air meluncur dari sudut mata.
"Sialnya ... aku terus merindukan ibu yang entah di mana ..." Tetes-tetes lain menyusul berjatuhan.
Berdenyut lagi. Aku merasakan lelehan darah yang sempat mengering, terbuka lagi.
"Selalu dikejar pertanyaan ... tentang kenapa ada ayah yang tega
bertingkah seegois itu, juga ibu yang seperti lupa pernah melahirkan
seorang anak di dunia ..."
"Pa ..."
"Karena itu sekarang
aku berusaha sebaik mungkin, agar anak-anakku tidak merasakan sakit yang
sama. Jangan pernah. Biarlah mereka punya tempat tinggal yang nyaman,
punya ibu sebagai tempat mengadu ... dan punya ayah yang bisa diandalkan
..."
Dilla menangis terisak melihat airmataku.
"Jangan
bercerai, Ma. Apalagi hanya karena masalah sepele dan keegoisan. Karena
perceraian itu mungkin cuma memakan waktu sebentar, lalu kita berdua
selesai ... tapi traumanya akan menggores lama di hati anak-anak kita
..." Aku menatap wajah Dila, dengan sorot mata penuh luka.
Dilla
menggelengkan kepala, sambil menyeka airmata yang tertumpah di pipinya.
Menyadari kesalahan yang tadi hampir dilakukannya.
"Karena
perceraian orangtua akan membuat luka di sini ..." Aku menunjuk dada
yang masih berdenyut pedih, "terlalu dalam ... bahkan sampai seumur
hidup sakitnya tak akan hilang."
No comments:
Post a Comment